MEMILIKIMU HINGGA UJUNG WAKTU

Birthstory: Liam Ismail Alqassam

DISCLAIMER

Kisah persalinan ini ditulis untuk mengabadikan sebuah momen penting dalam kehidupan penulis. Tidak ada maksud/ niatan penulis untuk menyerang, menyindir, atau memojokkan kaum ibu yang memilih cara bersalin yang berbeda. Juga, penulis tidak ada niatan untuk menyerukan kepada para ibu yang akan melahirkan untuk melakukan hal yang sama seperti yang penulis lakukan atas pilihan-pilihan persalinannya. Bagaimanapun, segala tindakan pengambilan keputusan harus didasari oleh niat yang baik dan ilmu yang mumpuni, serta disertai kesadaran dan kesiapan untuk menghadapi konsekuensi yang mungkin terjadi.

SEBELUM MEMBACA kisah persalinan saya yang keenam ini, ada baiknya memulai membaca dari kisah-kisah persalinan sebelumnya terlebih dahulu. Hal ini ditujukan agar pembaca memahami alur, istilah-istilah, dan ideologi yang ditampilkan dalam tulisan ini, dan agar pembaca mendapatkan gambaran utuh mengapa penulis mengambil keputusan-keputusan yang mungkin dinilai tidak biasa dalam mempersiapkan persalinannya.

Kisah persalinan anak pertama: https://syamileducare.wordpress.com/2016/08/09/my-childbirth-my-adventure/

Kisah persalinan anak kedua: https://syamileducare.wordpress.com/2019/04/17/beauty-and-the-best/

Kisah persalinan anak ketiga: https://syamileducare.wordpress.com/2019/05/18/unassisted-homebirth-ketika-dunia-terasa-hanya-milik-berdua/

Kisah persalinan anak keempat: https://syamileducare.wordpress.com/2020/09/10/antara-dua-takdir-berpacu-satu-waktu/

Kisah persalinan anak kelima: https://syamileducare.wordpress.com/2022/07/28/cinta-pada-hantaman-pertama/

MEMILIKIMU HINGGA UJUNG WAKTU

Birthstory: Liam Ismail Alqassam

Maka apabila manusia ditimpa masalah, dia berdoa kepada Kami. Kemudian apabila Kami telah memberinya nikmat dari sisi Kami, dia berkata ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat ini hanyalah karena kepintaranku’. Sebenarnya, (nikmat) itu adalah ujian, tetapi banyak dari mereka tidak mengetahui.

{QS. Az-Zumar: 49}

“[…] Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.

{QS. Al-Kahfi: 10}

Kehamilanku yang keenam ini sedari awal penuh dengan kejutan. Banyak hal yang terjadi diluar prediksi dan pengetahuan manusia.

—– TESTPACK —–

Pertengahan bulan Ramadhan 1444 H, hasil testpack NEGATIF. Berhari-hari setelahnya aku dan suami merasa aman-aman saja menjalani rutinitas, walau sebenarnya gejala hamil muda malah semakin terasa: sakit kepala, keram perut bawah, mual-mual.

Ramadhan berlalu, tibalah Syawal. Ketika kami sekeluarga sedang mudik Idul Fitri di Jogja, kukira kram perut dan sakit kepala hebat yang kurasakan hanya berasal dari cuaca yang memang sedang ekstrim panas disana. Tetapi sepulang dari Jogja, mual-muntah malah semakin menjadi-jadi. Tak bisa makan kecuali pasti akan dikeluarkan lagi.

Akhirnya agar benar-benar yakin, kali ini aku dan suami cek ke dokter obsgyn.

Ternyata benar hamil, dan janin sudah berusia DUA BULAN dalam kandunganku!

Bagian yang paling membuat kami terkaget-kaget adalah kenyataan bahwa aku sudah hamil bahkan sebelum masuk bulan Ramadhan. Kaget karena merasa tertipu testpack. Padahal testpack yang kami pakai bukan yang abal-abal, dari yang konon terbaik dan terakurat. Memang ya wayahnya secanggih-canggih ciptaan manusia, tetap saja ada porsi gagalnya. Takkan mampu menyingkap apa yang Allah rahasiakan, pun takkan mampu menyembunyikan apa yang Allah tampakkan. Masya Allah.. surpriiiiise!

“[…] Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.

{QS. Al-Baqarah: 216}

—– TESTLAB —–

Semua berjalan lancar tanpa masalah diawal kehamilan.

Memasuki trimester ketiga, hasil tes darah pun menunjukkan semua aman dan NORMAL. Tetapi di penghujung trimester yang sama, qadarullah aku harus opname karena ternyata hb rendah dibawah batas wajar.

Gejala hb rendah yang sampai mengganggu rutinitasku adalah rasa pusing kepala seolah-olah ada gempa setiap saat. Sepertinya aku bisa saja oleng terjatuh karena merasa berputar-putar. Awalnya gejala ini kuabaikan dan pusingnya masih kadang muncul kadang hilang. Namun karena hb rendahnya tidak diobati, gejala tersebut menjadi semakin parah dan tidak hilang.

Aku hanya bersama lima bocils di rumah ketika pusing kepala ini memuncak, berpadu juga dengan mual yang tak karuan. Bocils jelas tidak mengerti apa yang harus dilakukan melihat bundanya uring-uringan. Alhamdulillah ada Bu Septa tetangga sebelah rumah yang mengetahui kondisi sakitku dan langsung membantu menghubungi suamiku agar segera pulang. Untuk yang kesekian kalinya, aku tertolong oleh bantuannya. Alhamdulillah, Allah berikanku tetangga-tetangga yang baik hati dan peduli. Thanks a million, Bund!

Malam harinya akupun dibawa ke UGD. Sempat ragu bagaimana meninggalkan bocils jika aku opname? Tetapi suamiku meyakinkanku bahwa ia bisa mengurusi lima bocils selama aku bedrest. Konsekuensinya adalah suamiku tidak bisa menemaniku di rumah sakit, atau ya.. tidak bisa lama-lama menjenguk. Tapi tak mengapa, yang penting aku bisa pulih dan bocils tetap terurusi. Maklum kami hanya berdua tanpa pembantu atau pengasuh.

‘Ala kulli haal, setelah beberapa hari perawatan bedrest di rumah sakit, hb pun berangsur normal dan aku bisa pulang.

Ternyata sesuatu yang awalnya baik, jika lalai merasa aman dan tidak istiqomah dijaga kebaikannya, bisa berakhir buruk. Karena hasil testlab yang fine-fine saja di awal, kami pun jadi lalai: tidak terlalu memperhatikan asupan nutrisi dan istirahat yang cukup, lalu pada akhirnya ambruk dan opname. Alhamdulillah hb masih bisa naik lagi sebelum proses persalinan tiba. Kalau tidak, bagaimana??

Kami pun kembali menanti datangnya gelombang cinta si kecil dengan tenang.

Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuhkan aku.

{QS. As-Syu’araa: 80}

—– EMPIRIS —–

Mucus plug dan braxton hick (kontraksi palsu) sudah muncul sejak usia kandunganku 9 bulan. Kontraksinya lumayan intense dan kadang-kadang sebegitu teraturnya sehingga membuat aku dan suami terkecoh.

Disuatu pagi diawal bulan Desember, saat usia kandunganku hampir 10 bulan, muncullah kontraksi TERATUR dan intens. Kami pun segera bersiap untuk persalinan di rumah (homebirth).

Kali ini kami tidak bisa mengungsikan bocils ke rumah ibuku lagi seperti persalinan sebelumnya karena ibuku sudah tidak sekuat dahulu untuk mengurusi bocils, apalagi sudah tidak ada ayahku yang bisa membantunya.

Satu pintu tertutup, alhamdulillah selalu Allah datangkan kemudahan dari pintu lainnya.

Ada pasutri teman kantor suamiku yang rumahnya tidak terlalu jauh dari sini: Maris dan Yuni. Mereka menawarkan bantuan dan bersedia bocils diungsikan di rumah mereka selama persalinanku berlangsung. Aku dan Yuni memang teman rasa saudara kanduang, tapi tetap saja aku terharu mereka bersedia serepot itu. Suamiku juga tak menyangka Maris mau terlibat, bahkan jadi yang paling repot dalam menjaga dan mengayomi bocils. MaasyaaAllah.. You’re da real MVP!! Jazaakumullah khayran katsiran.

Bocils aman, saatnya kembali fokus ke persalinanku.

Dua hari berlalu sejak kontraksi yang intens datang, tidak ada kemajuan signifikan dari yang dilihat suamiku sebagai bukaan satu. Di hari ketiga, siang harinya, mulasnya sempat semakin intens dan frekuensi semakin dekat. Suamiku pun mengatakan bukaan sudah bertambah hingga sekira bukaan tiga atau empat. Kami sudah sangat bersemangat. Tetapi menjelang ashar kontraksinya hilang blas. Bukaan kembali menutup. Sampai malam berlalu tidak ada lagi kontraksi sama sekali.

Totalnya sudah tiga hari tiga malam kami menanti. Dengan kondisi penantian yang siap siaga: Siang hari yang tanpa selera dan sedikit makan, dan malam hari yang terasa panjang dengan sedikitnya istirahat. Namun itu semua tanpa ada kemajuan yang signifikan.

Karena merasa stuck dan penasaran, keesokan harinya kami cek ke klinik bidan. Betapa kagetnya kami ketika diberitahu bidan bahwa belum ada pembukaan sama sekali. Padahal aku jelas merasakan sudah sampai di fase laten persalinan, dan suamikupun yakin sudah ada pembukaan sebagaimana yang ia ketahui ciri-cirinya dari persalinan-persalinanku sebelumnya. Kami keluar dari klinik dengan perasaan bingung dan gusar. Kami pun memutuskan untuk menjemput bocils pulang.

Dan memang tidak ada mulas lagi sama sekali sejak hilang kontraksi menjelang ashar itu.

Kami kembali ke titik nol, menanti gelombang cinta yang sesungguhnya. Menanti dalam kepasrahan makhluq kepada kekuasaan Sang Khaliq.

Pengalaman lima kali melahirkan normal ternyata tidak menjamin seseorang lantas menjadi ahli dalam persalinan alami. Yang kita kira sudah kita pahami dengan baik karena banyaknya pengalaman, bisa jadi bukanlah hal yang dapat dijadikan pegangan. Karena sejatinya pemahaman manusia itu terbatas: hanya setetes dari samudra yang luas. Lantas, pengetahuan yang mana yang patut disombongkan manusia?

“[…] Ingatlah ketika kaumnya berkata kepadanya, ‘Janganlah engkau terlalu bangga. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang membanggakan diri.

{QS. Al-Qashash: 76}

—– ILMIAH —–

Gelombang cinta yang sudah lama dinanti-nanti itupun hadir saat usia kandunganku hampir 42 minggu. Di penghujung bulan Desember, sekitar jam 11 siang, tetiba muncul mulas kontraksi yang langsung berat. Setiap kali kontraksinya muncul, aku seketika hanya bisa terdiam menahan sakit sampai berkeringat dingin. Kugunakan aplikasi “Contraction Timer” untuk memantau intensitasnya, namun durasi dan frekuensinya ternyata masih RANDOM. Jaraknya kadang lima menitan, tetapi lalu jadi sepuluh menitan, lalu bisa tiba-tiba tiga menitan, dan seterusnya. Kadang semakin dekat, lalu menjauh lagi, mendekat lagi. Tidak ada keteraturan sama sekali.

Karena melihat kontraksinya belum teratur, aku dan suami tidak terlalu bergegas. Kami pikir ini masih kontraksi palsu seperti yang terjadi di awal Desember itu. Bocils masih kami biarkan dengan aktivitas bermainnya, ruang tengah pun belum dipersiapkan untuk persalinan.

Walau sakitnya kontraksi sudah sangat mencengkeram, tetapi aku masih santai saja berbaring diatas kasur sambil sesekali turun untuk duduk-duduk di atas birthball. Lagi-lagi itu semua karena berpegang dari ilmu yang kami pelajari di kelas: persalinan baru akan terjadi setelah kontraksi yang teratur dan semakin dekat.

Ketika aku memutuskan untuk tidur qailullah saja dulu sekalian sedikit meredakan rasa sakit, kontraksi yang begitu kuatnya datang dan BYURRRR!! Ketubanku pecah dan airnya membanjiri sebagian kasur. Baru saat itulah aku dan suamiku menyadari betapa seriusnya kondisi kami, dan langsung mempersiapkan persalinan dalam kepanikan.

27 Desember 2023.

Sekitar pukul 11:30 siang.

Suamiku langsung mengondisikan bocils untuk tidur siang. Lalu setelah itu suamiku sat-set-sat-set mempersiapkan ruang tengah untuk menjadi ruang bersalin. Bocils aman walau sesekali di tengah persalinan ada saja yang keluar dari kamar untuk mengintip-ngintip, penasaran bagaimana adik mereka akan “dikeluarkan dari perut”. hehe. Alhamdulillahnya mereka paham jika kami minta mereka kembali tidur, dan mau bersabar menanti kami senggang untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan polos yang muncul dalam benak mereka ketika melihat proses persalinan adiknya.

Ruang bersalin: check!, madu zaitun kurma zamzam: check!, handuk-handuk dan birthball: check!. Aromaterapi dan murattal: check!. Bismillah..

Sejak pecah ketuban, kontraksi masih sesekali muncul. Datang dan pergi dalam ketidakteraturannya. Aku hanya bisa mengatur nafas perut setiap kali kontraksi datang, seperti yang sudah diajarkan di kelas prenatal dan pertemuan senam hamil.

Rasa sakit kontraksi membuatku kepayahan di posisi duduk dan akhirnya akupun berubah posisi menjadi rebahan menghadap kiri. Kami berusaha menciptakan atmosfir yang santai agar hilang kepanikan sisa kejadian pecah ketuban barusan. Suamiku yang sejak awal memantau dan mengawasi kondisiku pun memutuskan untuk mandi dulu agar badan dan pikiran fresh.

Belum ada sepuluh menit ditinggal ke toilet, aku merasakan gelombang kontraksi yang serius. Ternyata bayiku sudah crowning di jalan lahir! Rasanya sudah bukan sekadar mulas-mulas pembukaan, tetapi juga ada dorongan mengejan karena sungguh kurasakan bayiku sudah bergerak turun akan keluar.

Sekitar pukul 12.00 siang.

“MAS, BURUAN, BAYINYA UDAH MAU KELUAR!!”

Sembari menahan mulas dan mengejan karena dorongan kontraksi, aku berdiri tertatih memanggil suamiku yang masih di toilet.

Aku panik karena belum ada satu jam sejak mulai pembukaan dan pecah ketuban, kurasakan sebagian dari tubuh bayiku sudah lahir. Namun aku tak dapat melihatnya.

Tapi kok kecil ya.. apa ya ini yang keluar??“, teriakku agak khawatir.

Suamiku yg kupanggil-panggil akhirnya keluar juga dari toilet.

Melihatku, ia langsung menatap terbelalak dan terdiam menganga.

Dan dengan suara bergetar,

“Dek.. yang keluar itu.. KAKI BAYI. Bayinya SUNGSANG!!”

Suamiku tak bergeming dari tempatnya, akupun terpaku setengah bersandar pada tembok ruang tengah. Kami terdiam lama karena shock dan kami hanya saling bertatap mata, seolah bertelepati mencari jawaban harus bagaimana. Tidak ada yang tahu sebelumnya bahwa posisi bayinya sungsang, sekalipun nakes! Sampai dengan usia kandungan 40 minggu kami masih rutin kontrol, dan baik itu dokter yang USG maupun bidan yang meraba, semua menyatakan kepala bayi di bawah, sudah masuk panggul.

Mereka bahkan sempat meyakinkan kami bahwa dengan usia kandungan sematang itu, sudah tidak mungkin bayi berubah posisi. Ruangnya sudah sangat sempit dan air ketubannya sudah sedikit, tak memungkinkan bayi untuk bermanuver ubah posisi. Laa quwwata illa billah!

Suamiku ingin mencari bantuan orang lain, namun belum sempat ia melakukan apapun, dorongan untuk mengejan muncul kembali semakin kuat. Suamiku langsung siaga lagi dan memantau kelanjutan proses kelahiran bayi kami.

Menit-menit yang berlalu setelah ini, tak menyisakan jeda untuk kami melakukan hal lain selain fokus pada melahirkan si bayi. Karena begitu cepatnya, dan begitu intensnya  dorongan kontraksi.

Suamiku memanduku untuk mengejan dan bernafas menggunakan pernafasan perut. Berkali-kali ia mengingatkanku untuk mengejan hanya jika ada dorongan dari kontraksi agar tidak terlalu menguras tenaga, dan mengingatkanku untuk rehat mengambil nafas dulu disetiap jeda kontraksi yang sangat sedikit itu. Hanya istighfar, istighfar, dan sayyidul istighfar saja yang terlintas dan terucap olehku setiap kali mengejan. Setengah berteriak karena sambil merasakan kesakitan dan kepayahan yang amat sangat. Astaghfirullah..

Kaki kanan bayi sudah lahir duluan se-mata kaki.

Kuambil posisi agak berbaring dengan punggung atas bersandar tembok, lalu mengejan, keluarlah kaki kiri bayi se-mata kaki.

Merasa kurang nyaman, aku berubah posisi menjadi berjongkok, lalu mengejan, keluarlah pinggang bayi, dan berhenti di perut bawah. Panggul bayi yang menggantung segera ditopang oleh tangan suamiku.

Posisi jongkokku menjadi agak doyong ke depan karena kurang tenaga. Kedua tanganku menjadi tumpuan yang menopang doyongnya badan kearah depan. Ketika dorongan untuk mengejan muncul lagi, keluarlah perut bayi dan stuck di dada (rusuk bawah). Tali pusarnya sudah kelihatan, dan mekonium bayi keluar berceceran ke alas perlak.

Kepala dan setengah badan bayi masih belum lahir. Tulang belakang bayi makin erat ditopang tangan suamiku agar tidak patah karena posisi kayang bayi yang semakin ekstrim. Suamiku memperhatikan perut bayi yang kembang-kempis. Dia semakin panik karena sepertinya bayi tak bisa bernafas. Suamiku yang sejak tadi tak lepas dari dzikrullah pun memintaku untuk bersegera berusaha mengeluarkan si bayi.

Aku amat sangat khawatir dengan kondisi bayi sungsangku dan ingin juga ini berakhir dengan segera. Bismillah, kuubah posisiku menjadi agak bersujud, lalu mengejan, keluarlah dada bayi dan lalu tertahan di ketiaknya.

Berkali-kali mengejan, tidak ada kemajuan, masih stuck saja di ketiak bayi. Sejujurnya saat itu, aku sudah tidak tahu bagaimana lagi caranya mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan persalinan, karena rasanya sudah sangat lelah dan lemas. Kuminta suami untuk intervensi membantu menarik bayi. Suami lalu inisiatif mencongkel kedua lengan bayi keluar satu persatu. Alhamdulillah akhirnya lahir sampai ke bahu bayi.

Tak lama setelah kedua tangan bayi lahir, kontraksi yang begitu kuat datang lagi.

Posisi final-ku adalah bersujud, masyaaAllah ternyata posisi ini paling ajeg untuk tumpuanku dan bisa sedikit mengurangi sakitnya persalinanku. Dan paling pas untuk berusaha mengejan sambil memohon dan berdoa.

Akupun mengejan, keluarlah leher bayi. Masih ada dorongan untuk mengejan, tetapi tetap tertahan di kepala (dagu bayi).

Berkali-kali mengejan, masih tidak bisa, tetap tidak keluar, hingga tenaga rasanya sudah habis tak tersisa. Hingga diambang putus asa ingin menyerah: rela jika diri ini harus berpulang ke rahmatullah bersama dengan si bayi. Bahkan aku juga sempat “berpamitan” dan memohon maaf kepada suamiku atas semua salah dan khilafku sebagai istri.

Rasanya kesulitan dalam persalinan ini memang sedikit banyak adalah akibat dari kesalahan-kesalahanku kepada suamiku. Selayaknya pasutri lainnya, tentu saja kami pun tak lepas dari permasalahan menyatukan frekuensi dalam menjalani rumah tangga bersama. Memang ada bagian dimana suamiku lalai dalam satu dan lain hal, namun akupun lebih sering terbawa emosi sehingga beberapa kali meluapkan kekecewaan dengan cara yang salah. Kupikir jika momen persalinan ini akan menjadi akhir dari nafasku, paling tidak aku dan suamiku sudah saling ridha.

Maafin Mas juga. Udah kamu jangan miikir macam-macam dulu. Bertahan ya..

Kata suamiku yang mulai panik berat melihat perut bayi sudah tak lagi kembang-kempis, bingung harus bagaimana, dan tambah juga bercampur kalut membayangkan segala kemungkinan terburuk yang rasanya sudah menanti di depan mata. Tak hentinya lisannya memohon kepada Allah agar memudahkan lahirnya bayi, agar kami semua selamat melaluinya, sambil sesekali disela menyemangatiku untuk terus bertahan dan berjuang.

Sekali lagi, suami berinisiatif mengambil langkah intervensi dengan mencoba meraih rahang atau dagu si bayi yang masih berada di dalam. Suamipun meraih pipi bayi, berusaha menariknya dan membuat kepala bayi merunduk ke bawah. Tiba-tiba dorongan kontraksi muncul lagi.

Kontraksi yang datang terakhir-terakhir ini terasa begitu kuat dan begitu menyakitkan. Aku yang tadinya sudah pasrah, tak punya pilihan lain selain kembali mengumpulkan tenaga yang tersisa dan kembali mengatur nafas perut sebisaku. Lama sekali rasanya waktu berlalu.

Sampai pada akhirnya suamiku yang memantau di belakangku berkata dengan semangat walau sambil berlinang air mata:

Alhamdulillah ini dagunya sudah keluar, Dek! Ayo, sedikit lagi, bisa!

Aku jadi kembali optimis dan bersemangat. InsyaaAllah tinggal sebentar lagi, tinggal sedikit lagi. Kukumpulkan lagi tenaga-tenaga yang tersisa untuk yang kesekian kalinya. Bismillah, mengejan terakhir sekuat tenaga, dan dengan seluruh nafas yang bisa kuhembuskan untuk mendorongnya..

27 Desember 2023 (14 Jumadil Akhir 1445H)

Pukul 13:00 siang.

Alhamdulillah.. Akhirnya lahirlah sudah anak keenam kami, bayi Liam.

Kelegaan hati yang terasa singkat saja, karena ternyata Liam lahir tanpa tangisan, bahkan tanpa ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. Benar-benar bayi pucat yang terkulai.

Suamiku nampaknya sudah mulai pesimis dengan kondisi Liam, menurutnya saat itu Liam sudah tak bisa diselamatkan. Tetapi aku tidak bisa. Aku tidak mau berpikiran begitu. Kuambil alih Liam dari tangkupan tangan suamiku, kuperhatikan tali plasentanya yang masih menghubungkan diriku dengan bayiku, masih berdenyut. Semoga masih belum terlambat.

Sambil berlinang air mata karena rasa hati yang tak karuan, kupeluk dan kutepuk-tepuk punggung atas bayiku (seperti ingin membuat bayi bersendawa). Kuusap-usap pipi, wajah, dan sekujur tubuh bayiku, berusaha memunculkan kehangatan agar ia terbangun. Masih belum ada pergerakan apapun dari Liam.

Melihat upayaku sedemikian rupa, suamiku lantas ikut berusaha “membangunkan” Liam. Dia merogoh ke dalam hidung dan mulut bayi, berusaha membersihkannya dari apapun yang mungkin jadi penyumbat nafasnya. Lalu memposisikan bayi tengkurap di pangkuannya dengan kepala lebih rendah dari kakinya, dan mulai menepuk-nepuk punggung bayi (seperti penanganan jika anak tersedak makanan). Masih belum ada respon apapun dari Liam.

Bayang-bayang kehilangan Liam semakin nyata saja. Suamiku mengembalikan bayi Liam kepadaku lagi, dan ia pun semakin kalut. Aku mendekap erat bayiku lalu merebahkan badannya tengkurap di dadaku skin-to-skin. Benar-benar memohon kepada Allah dalam hati agar Liam selamat. Kembali kuusap-usap dan kutepuk-tepuk badannya, dan tiba-tiba:

oek.” sesingkat itu tangis pertamanya. Diiringi gerak tubuhnya yang menggeliat pelan, seperti baru tersadar bahwa sekarang sudah tidak lagi berada di dalam rahim.

Aku dan suamiku langsung bangkit dan sumringah.

Alhamdulillah masih hidup, Mas!

Alhamdulillah, iya, Dek!!

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihat..

suamiku bersujud syukur dalam tangis haru.

Setelah beberapa waktu, barulah tangisan Liam keluar dengan lantang dan full of life. Aku dan suami sungguh lega dan bersyukur. Kuposisikan bayi Liam untuk lanjut inisiasi menyusui dini (IMD).

Pukul 13:15.

Walau prosesnya terasa begitu lama, tetapi ternyata persalinan Liam adalah yang paling cepat dibanding saudara-saudaranya. Hanya sekitar dua jam sejak mulas kontraksinya datang. Lima belas menit setelah bayi Liam lahir utuh, plasentanya pun lahir utuh tanpa ada bagian yang lengket. Paling cepat. maasyaaAllah tabaarakallah..

Begitu plasenta lahir, suamiku segera menelepon Bidan Fitri untuk datang. Bidan Fitri ini sebelumnya adalah tetangga di perumahan kami. Orangnya maasyaaAllah sabar, lembut, profesional, dan sangat mengayomi. Sangat sangat recommended!

Beberapa lama menunggu, akhirnya bu bidan tiba. Tak berpanjang kalam, beliau langsung action! mengecek kondisiku dan bayiku. Untuk mencairkan suasana, suamiku menceritakan proses persalinan si bayi sungsang. Bu bidan sepertinya terkaget-kaget namun juga tertarik dengan kelahiran Liam ini.

Obrolan menjadi semakin berhikmah ketika Bidan Fitri membenarkan tindakan suamiku mencongkel tangan bayi keluar dan menarik pipi/dagu/rahang bayi sungsang agar kepala bayi merunduk dan bisa lebih mudah dilahirkan. Semua sesuai SOP penanganan lahiran sungsang, katanya. Padahal kami tidak tahu menahu sebelumnya, dan suamipun melakukan itu atas insting saja. Tabaarakallah.. sungguh semua itu karena petunjuk dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Bayiku ditimbang. Beratnya ternyata 4,3 kg! maasyaaAllah sudah Liam ini persalinannya yang paling cepat, berat badan lahirnya pun yang paling besar!

Aku juga lalu dicek oleh bu bidan. Pendarahan dan tensi normal, kontraksi rahim aman berlanjut, tidak ada robekan jadi tidak perlu jahitan. Secara keseluruhan semuanya baik-baik saja. Alhamdulillah..

Bu bidan pun pulang dan kami bisa beristirahat.

—– HIKMAH —–

Adanya bakal janin yang tumbuh dan hidup dalam rahimku, tidak ada yang tahu sebelum Allah yang tampakkan. Alat tes kehamilan terbaik pun gagal mendeteksinya.

Adanya masalah dengan hb-ku yang rendah, juga tidak akan ketahuan jika gejalanya tidak Allah munculkan. Hasil tes darah yang sebelumnya menjadi tidak ada nilainya.

Mengandalkan pengalaman yang sudah-sudah lalu jumawa dan menganggap enteng proses persalinan? Allah datangkan kontraksi palsu yang intens dan teratur layaknya kontraksi asli. Plus pembukaan tahap awal yang lalu menutup lagi. Sesungguhnya Allah berkuasa untuk melakukan itu jika Allah berkehendak.

Mengandalkan ilmu persalinan yang begitu mapannya karena berlandaskan riset, perhitungan, dan realita data? Allah datangkan kontraksi asli yang malah sama sekali tidak beraturan frekuensinya, sehingga orang-orang yang mengaku berilmu akan menyebutnya kontraksi palsu.

Plus posisi bayi yang semua nakes menyatakan aman kepala di bawah dan sudah masuk panggul. Nyatanya? Lahir presentasi kaki dan semua terkaget-kaget tak ada yang menyangka, tak ada yang dapat mengantisipasi.

Sebanyak apapun ilmu, sepintar apapun akal, sehebat apapun pengalaman, akan selalu ada celah lebar untuk keajaiban “kun fayakun” dalam segala hal.

Proses persalinan anak keenam ini menjadi pembelajaran yang amat sangat berharga untukku dan suami.

Kami sadari dalam banyak hal, bukanlah akal atau pengalaman yang menyelamatkan kita dari bencana.

Kita selamat dari bencana, hanyalah karena rahmat Allah semata. Kasih sayang Allah saja.

Dan Allah tidak pernah membiarkan keluarga ini berlama-lama dalam kelalaian.

Selalu saja ada teguran sayang dari-Nya jika kami mulai “bengkok”.

Dengan ujian dari-Nya, Allah meruntuhkan kebanggaan (kesombongan) diri, sehingga diri sepenuhnya yakin bahwa dalam hal apapun, yang bisa diandalkan dan yang kita miliki bukanlah ilmu, bukan juga harta, bukan jabatan, bukan pula manusia lain. Hanya Allah. Hasbiyallah.

Maka alangkah beruntungnya, jika kami tetap MEMILIKI-MU HINGGA UJUNG WAKTU

Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.

{QS. Al-Qashash: 83}

Tangerang, 8 Maret 2024

Ramadhiny Susilo